RSS

cerita bertema keberanian, semangat,kejujuran


Kokoro no Tomo
            Kring .. ring.. ring.. lonceng bel sekolahku berbunyi. Seketika otak kami menerjemahkan syarat tersebut dengan sistem saraf kami, tepatnya siswa-siswi SMPN Wakowi 1,Ambon. Tidak seperti hari-hati biasa, pulang sekolah kali ini, aku pulang bersama temanku dengan sepeda, itupun sepeda tetangga yang dipinjamnya. Perjalanan pulang kami memakan waktu kurang lebih 1,5 jam kalau menggunakan sepeda. Jarak tempuhnya kira-kira 5 km. Huh.... rasa lunglai mulai merajut tubuhku, goes,goes,goes,goes itulah yang bisa kulakukan untuk pulang bertemu ibu. Namun kini, pada jarak sekiranya 2,5 km aku menggoes,temanku bergiliran menggoesnya. Menyusuri hutan belantara,nan gelap dan menakutkan, tapi tidak untuk kami, warga Ambon yang pemberani.
            Di  perjalanan, tidak kami duga,  ada  sebuah nangka yang kelihatannya menggoda untuk dibawa pulang, temanku, Angko langsung menyuruhku mengambilnya. “Sudahlah, kau ambil saja nagka itu, itu rezki yang tak boleh acuhkan.” Perintah Angko. Lalu begini jawabanku bak seorang guru agama, “Mengambil tanpa seizin yang punya, itu dinamakan mencuri, tak lah ini bukan rezki.” “Lagakmu bicara tak kau kuras dulu ya! Nangka itu tak ada pemiliknya sekarang, jadi jika kita mengambilnya ya bukan mencuri lah! Kalau kau tak mau biar saja aku yang akan mengambilnya,” bentak Angko yang mulai kelihatan sangar.Bimbang menaungi pikiranku,kukatakan “Yasudah, kalau begitu aku baru mau mengambilnya.” “Cepat kau ambil! Sebentar lagi kita tiba di rumah, lalu nagka itu kita bagi menjadi dua belahan saja,” geram Angko. Baiklah, seruku dalam hati. Kemudian kakiku melangkah dan tanganku menganyun untuk merogoh nangka itu. Setelahnya,Angko terus menggoes sampai kami tiba dirumah masing-masing.
            Tibaku di rumah, “Asalamualaikum Bu, ini Waluh bawakan nangka.” “Waalaikum salam nak,” bunyi cekrak cekrek sontak menandakan ibu membukakan pintu. Baru saja masuk, seorang laki-laki paruh baya langsung menggerutu “Waluh, kau pulang jam segini hah? Memangnya kau sekolah sampai jam berapa? Nangka yang kau bawa itu hasil curian toh?” “Hei Paman, kau punya mulut cakap begitu sekali, tak berfikir rasa hati orang toh! Beta memang biasa sampai rumah  jam segini, dan nangka ini buah beta temu dijalan!” paman hanya diam, ketikaku cakap seperti tadi. “Waluh tahu, Paman saudagar kaya yang menyepelekan orang-orang seperti beta, tapi beta tak ada fikir untuk mencuri, beta ambon manise yang jujur hah, mengapa orang punya kulit hitam bak beta selalu dihina toh? Beta tahu beta tak cakap!”
            “Waluh, sini nak tolong bantu ibu olah kau nangka punya,” suruh ibu. Aku bergegas kabur dari pertikaian di ruang depan tadi, kemudian lari membantu ibu. Ternyata ibu mengolahnya menjadi makanan tradisional Ambon, sedap sekali harumnya. Meluluhkan hati aku yang sedang kesal. “Bu, beta punya hati sakit sekali rasanya, mengapa beta selalu dihina toh?” keluhku pada ibu. Tak kusangka ibu langsung menitihkan air mata,aku jadi merasa bersalah mengeluh seperti ini pada ibu. “Sabar saja nak, orang tak punya layak memang tak punya salah, mereka yang menghina yang punya salah, berserahlah pada Sang Kuasa nak,” ucap ibu sambil menghapus air mata di pipinya. Aku hanya diam, tak mau menambah tangisan ibu. Ambon manise layak aku memang selalu dihina oleh saudagar-saudagar kaya dari Ibukota, ataupun dari mancanegara. Mereka belajar bahasa Ambon,hanya untuk  menghina warga Ambon, kedatangan mereka disini semata-mata hanya mebuat sengsara warga Ambon,  memonopoli hutan dan binatang, menjajah dengan cara yang horizontal. Sebab itu, aku bertekat menjadi orang yang berguna bagi Ambon, melalui prestasi-prestasiku di sekolah, melalui tata ramah yang bertegak, dan melalui baktiku pada orangtua.
            Petang tiba, saatnya untukku mengaji. Di daerahku, berkumpul warga-warga Islam diantara penjuru Ambon. Kami mengaji di masjid kecil yang terletak di tengah-tengah telaga, kami harus mendayung sampan-sampan untuk sampai di sana. Walaupun kami melihat satu persatu ayat Al-Qur’an dengan menggunakan sebatang─dua batang lilin di tengah. Tapi kami tetap semangat dan tetap menaati hukum-hukum tajwid yang berlaku.
            Tak terasa hari sudah berganti,kini jam menunjukkan pukul 03:30 WIT, ya memang aku sudah terbiasa bangun sebelum fajar terbit, ini adalah tuntutanku untuk berangkat ke sekolah. Hari-hariku untuk pergi ke sekolah, aku lantunkan dengan jejak-jejak di jalan setapak, di permukaaan jembatan yang sudah reot dan kalaupun aku punya uang saku lebih, aku baru bisa pergi dengan sampan. Beginilah kehidupan di daerahku,seragam sekolah seadanya, bahkan kamipun tak memakai sepatu, kalaupun ada, mereka biasanya orang-orang kalangan menengah ke atas. Baiklah, sudah waktunya aku berangkat sekolah. “Bu,Waluh berangkat sekolah,”pamitku, sambil menempelkan tangan ibu ke wajahku.”Hati-hati, semoga bertemu bapak di jalan”. Bapakku memang sedah lebih dulu berangkat untuk mencukupi kebutuhan keluarga inti kami, mata pencaharian yang dijalankan bapak adalah  pengolah pohon sagu. Betapa mudah kelihatannya, tapi bapakku setiap hari harus bergulat dengan ulat-ulat sagu yang nakalnya bukan kepalang. Bukan hanya bapak, namun masih banyak kepala keluargan lainnya. Kami memang masih bergantung dengan alam, namun dengan begitu kami bisa makan,minum walaupun kelihatannya sesederhana mungkin. Selain untuk mata pencaharian, sagu adalah makanan pokok daerah kami.
            Setelah mengantri untuk menaiki jembatan, kini giliranku. Aku menapakkan kakiku dipermukaan jembatan yang hampir akan punah. Kendati begitu, jembatan ini sangat berjasa untuk orang-orang di daerah kami. Setelah selesai menyusuri jembatan, aku berjalan melewati hutan.
            Aku sudah sampai di penghujung perjalananku, tepatnya di SDN Wakowi 1. Pelajaran pertama hari ini adalah matematika, aku sangat menyukai pelajaran ini, mengapa begitu? Aku mempunyai segudang cita-cita yang berhubungan dengan matematika, salah satu cita-cita yang sangat ingin aku capai adalah menjadi guru matematika. Kelak nanti, Tuhan Yang Maha Esa dapat mengabulkan cita-citaku, aku ingin mengajar di SDN Wakowi 1 ini. “Waluh, cepat tunjukkan sisi-sisi yang berkongruenan,” perintah guruku. Dengan sigap aku menjawab “AB dengan RS, AC dengan ST, CB dengan RT”. “Pintar kau Waluh! Esok hari kita ulangan, persiapkanlah, belajar sungguh-sungguh.”
            Kini giliran pelajaran kesenian dan kebudayaan. Selain matematika, aku juga senang menggambar. Tapi untuk kali ini aku belajar seni tarik suara, nama guruku adalah bu Kartini.”Anak-anak hari ini kita belajar menyanyikan lagu berjudul Kokoronotomo,” ucap bu Kartini. “Lagu darimana itu? Beta tak pernah mendengarnya,” celetuk si Hasan. “Lagu ini berasal dari Jepang,pencipta lagu ini punya nama Mayumi Itsuwa, ingat baik-baik! Karena lagu ini menjadi salah satu lagu Asia yang marak di Indonesia,” jelas bu guru. Aku sambut dengan pertanyaan, “Mengapa kita harus belajar nyayian itu Bu? Bukankah kita punya lagu-lagu yang lebih bagus dari lagu itu?” “Jadi begini anak-anakku sekalian, kita punya standar kompetensi untuk menyanyikan lagu Asia, tujuannya supaya kita mengenal lagu yang dimiliki oleh negara lain, saya tahu kalian punya pikiran menyayikan lagu ini sangatlah sulit, tapi jika kalian ada kemauan untuk mencobanya, lambat laun kalian akan bisa,” cakap bu guru yang berasal dari ibukota. “Tapi Bu, kita sebagai pemuda Indonesia punya sumpah toh, bahwa bahasa kita hanya bahasa Indonesia,saya sebagai warga Ambon tentunya sangat menolak untuk menyanyikan lagu yang bukan berasal dari tanah air beta sendiri!” “Memang benar kau Waluh, tapi kita juga harus mengenal budaya bangsa lain, terutama bangsa-bangsa di Asia ini. Baiklah, kalian semua berhenti bicara, simak baik-baik lagu yang akan saya nyayikan! Anata kara kurushimio,ubaeta sono toki, watashi nimo ikiteyuku yuuki nga waite kuru.........” Selagi kami mendengarkan suara merdu bu Kartini, Angko bicara, “Maaf Bu, tapi tolong tulis di papan dengan huruf-huruf Indonesia.” “Baik, Ibu akan menulis sambil bernyanyi, kalian simak dulu ibu menyanyi, setelah itu baru saya suruh kalian menulis!” Kembali dari awal bu guruku menyanyi,namun semua teman-teman termasuk aku, bingung dengan apa yang dinyanyikan oleh bu Kartini.
            “Kalian coba menyanyi dengan melihat ke tulisan yang ada di depan, saya mulai dahulu, baru kalian mengikutinya anata─kara kurushi─mio” begitulah yang di praktikan bu guru,jelas bagi kami tidak sama apa yang ditulisnya, tapi kami tetap mengikuti, “Anatakar  a kuru kuru─” “Kurishi─mio ubaeta so──no toki” “kursimio─ baeta sono─ to─ki” dengan asal kami mengikuti apa yang dipraktikan bu Kartni, “Sudah-sudah berhenti! Saya nyanyi bagian yang mudah saja kalian ingat,” bu Kartini menjadi kesal, tapi aku dan Angko malah tertawa-tawa kecil.Lantas dia kembali bernyayi “Semua, simak baik-baik bagian ini sering disebut reff, Aiwa itsumo rarabai─ tabini sukareta toki,tada kokoronoto─motoo, watashi o yondeee, coba Waluh, kau maju menyayikan bagian yang saya nyanyikan.” Aku diperintah untuk menyanyikan lagu itu, huhh “Taklah, saya tak mau.” Lagi-lagi celetuk Hasan “Tak mau atau tak bisa?” “Coba saja kau yang menyanyi ke depan, pasti kau tidak bisa toh!”geramku. “Tadi kau bilang apa? Aku tak bisa menyayikannya, tentu saja aku bisa toh!” “Hasan, Waluh, berhenti bertengkar! Kalian berdua harus──” kring.. kring.. bunyi lonceng terdengar berarti aku terbebas dari hukuman bu Kartini. Tapi ternyata tidak seperti yang aku bayangkan, “Kalian berdua harus menghafal lagu kokoronotomo dalam waktu seminggu, pulang sekolah kalian harus temui ibu di ruangan guru-guru!”Aku dan Hasan tersentak kaget. “Ta.. tapi bu..” “Tak ada yang protes!” Seketika raut wajahku jadi tidak semangat lagi.
            Pelajaran-pelajaran setelah kesenian dan kebudayaan menjadi tidak semangat untukku belajar, karena masih tertera di dalam benakku,beban menyanyi yang tak mungkin aku bisa laksanakan. Tiba-tiba lonceng bel pulang berkumandang, membuat asaku tidak bergairah seperti biasa. “Angko, kau mau temani aku dulu toh? Sampai urusanku selesai,” tanyaku. “Baiklah, tapi kita pulang jalan kaki toh, aku tak bawa sepeda lagi.” Kemudian aku jalan ditemani Angko menuju ruangan guru,lalu tiba-tiba Hasan menghampiriku “Luh, maafkan aku punya mulut tadi cakap seperti itu toh, tapi aku tahu, kita pasti akan menjalani hukuman ini bersama-sama.” “Kau saja sendiri! Jujur,aku tak bisa bernyanyi! Memangnya kau sudah siap?” Bentakku kesal. “Lihat saja kedepannya.”
            Tiba di ruang guru, rasa malu dan takut mulai mengendap di tubuhku. Seorang guru matematika, bernama pak Tidore menegurku, “Ada apa Waluh? Ini sudah jam pulang sekolah, bukankah seharusnya kau sudah meninggalkan sekolah ini?” “Eeee.. saya mau bertemu bu Katini Pak,” jawabku gugup. Tiba-tiba seorang guru berbicara, “Masuk saja, bu Kartini sudah menunggu kalian”. Lalu aku dan Hasan memasuki ruang guru, tapi sepertinya Hasan tidak segugup aku. “Waluh,Hasan kemari cepat!” seru bu Kartini sambil melambaikan tangannya. Kami menghampirinya, lalu dia berkata, “Seminggu lagi kalian akan melunaskan hukuman kalian, saya akan ajarkan kalian menyayikan lagunya.”
            Sekarang, aku tak tahu harus memulai darimana, karena aku sama sekali tidak bisa dan tidak mau menyayikannya. “Waluh, tenagkan hati kamu, jangan gugup seperti itu, saya yakin kamu bisa.” “Ayolah Waluh, yang menjalankan hukuman ini kita berdua, aku tak mau menjalankannya sendirian, kau menyerah toh ?” kata si mulut besar. “Hei Hasan, jangan pancing aku punya emosi, baiklah aku siap menjalankannya!” “Sudah berhenti bicara! Sekarang dengarkan saya menyanyi,” bu Kartini mulai kesal. “Bu, kita menyanyi bagian reff-nya saja toh? Beta tak bisa menghafalnya kalau sampai satu lagu penuh,”kataku, memang kelemahanku adalah menghafal. “Baiklah, kalian berdua simak baik-baik! Jangan tertawa! Aiwa itsumo rarabai─ tabini tsukareta toki,tada kokoronoto─motoo, watashi o yondeee, coba kalian ulangi.” “Aiwa..wa itsu sitsu..” nyanyi kami tidak kompak. “Kalian tidak kompak sama sekali! Kalau begitu, Hasan kamu lebih dulu menyanyi !” “Tapi bu, Waluh saja lebih dulu!” “Tak ada protes! Cepat menyanyi aiwa itsumo rarabai─ tabini tsukareta toki,tada kokoronoto─motoo, watashi o yondeee”. “Aiwa it su mo rarabai, ta bini─tsukareta toki, eee aku tak hafal lagi liriknya Bu” “Hafalkan liriknya Hasan, kini giliriran kamu menyanyi Waluh! Aiwa itsumo rarabai─” “Aiwa itsumo ra─ra bai” dengan asal aku menirunya. “Tabini tsukareta toki, lihat lirik yang kau catat!” “Tabini su─su kareta toki─” “Itu kau mulai sedikit bisa, tada kokoronoto─motoo” “Tada kokorotomo─tomoo” “Salah besar! Lihat liriknya baik-baik, tada kokoronoto─motoo” “Tada kokoronotomoto─” “Watashi o yondeee” “Watashi onde ondee” “Waluh, kau hafalkan liriknya dengan baik, sekarang kau silahkan pulang. Hasan, tinggal kau yang tetap disini!” “Taa.. pi Bu, aku juga ingin pulang.” “Nanti harus kau sudah menyanyikannya sampai betul, tak ada protes!” Tapi dewi fortuna tetap memihak pada Hasan, “Permisi Bu, ada bapaknya Hasan yang menjemputnya untuk pulang ke rumah Bu, saya disuruh memanggil Hasan.” “Baiklah Hasan,kau belajar dengan Waluh saja nanti sampai kau bisa,karena kalian berdua tetap harus menjalankan hukumannya!”
            “Lama sekali kau Waluh, ini sudah jam berapa toh! Kalau kita pulang jalan kaki saja, bisa-bisa aku dimarahi!” seru Angko. “Aku tak punya uang untuk naik sampan, kau punya?” “Tak ada,” jawab angko lemas. “Sudahlah, kita jalan saja,” ucapku lemas. Tiba-tiba Angko mendapatkan uang dari saku celananya, “Luh, aku temukan uang seribu di sakuku, bisa untuk kita naik sampan.” “Baiklah !” seruku dengan kembali semangat.
            Sampai di rumah, bapakku bertanya, “Darimana kau Waluh? Tidak biasanya kau pulang jam segini!” “Tadi Waluh, bantu Angko mengerjakan tugas sekolah,”terpaksaku berbohong, kalau aku jujur, aku bisa mengecewakan bapak. “Benar toh? Kau jangan berbohong!”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar