RSS

cerpen bertema akhir penantian


Malam Tak Pandang Bulu
Karya: Risda Monica
            Pesantren kilat yang diadakan kali ini, mempunyai perubahan 90° dari tahun sebelumnya, yang biasanya pesantren kilat, dilakukan 3-5 hari, kini benar-benar kilat, yakni hanya 1 hari, tanpa boleh meninggalkan sekolah, kecuali sudah batasnya pulang dibuka. Tidak hanya itu, siswa dan siswi pun sengaja dipisahkan, layaknya pesantren sesungguhnya. Keadaan ini tentu ada baik dan buruknya. Hal positifnya, kita dapat membatasi jarak dari kaum laki-laki, dan ilmu pengetahuan yang kita dapat lebih mudah dicerna. Hal negatifnya adalah, kita harus seharian (hanya sampai selesai buka puasa bersama) di sekolah, tanpa mandi sore ataupun yang lainnya, menyita banyak waktu kita dan juga pesantren ini, sayangnya hanya dilakukan dalam satu hari saja. Tapi, dari sinilah pengalaman menarik yang kualami dimulai.

            Tak terasa materi-materi pesantren kilat kian menyirna, saatnya kami siswa-siswi SMP Murid Teladan menundukkan kepala sejenak seraya memejamkan mata, untuk meredam emosi dan meluapkan emosi yang terpendam dengan sebuah luapan tangisan yang sulit dibendung, karena itulah yang menjadi tujuan acara sakral ini. Kami dihimpun oleh pembimbing yang cukup tegas dalam memberi sugesti dan solusi, serta-merta menyadarkan kami akan suatu perubahan ialah lebih baik dari apapun.
            Semua tangisan sudah saatnya untuk ditahan, karena kami akan menyiapkan segala sesuatu menjelang detik-detik adzan magrib. Aku, selaku pengurus kelas, ikut membantu dalam hal menyiapkan makanan, sungguh merepotkan, tapi tugas mulia ini tidak dapat dicegah. Mengingat hari ini merupakan acara pesantren kilat yang juga acara buka puasa bersama. Tahun lalu, acara buka puasa bersama di sekolah, merupakan yang terburuk diantara semuanya. Karena, hari itu dimana hari putusnya tali percintaan kami, aku dan Serlo. Itu bukanlah hal yang mudah aku terima, karena di hari itu pula aku mengetahui alasan yang tak mungkin ia ungkapkan kepadaku. Ternyata, di hari itu juga, ada salah satu teman dekatku yang baru saja pacaran, bersama seseorang yang telah berhasil meluluhkan hatiku, dahulu.
            Sejak hari itu, antara aku dan Serlo hanyalah sebatas teman, barangkali musuh. Karena aku dan Serlo, jarang atau bahkan mendekati tidak pernah komunikasi, sejak kejadian itu. Mungkin, aku terlalu sakit untuk mengakuinya, atau untuk melihat dia bersama orang lain, sebab itu aku berusaha menjauh darinya, tapi sejujurnya, aku tidak mau sampai sejauh ini.
            Akhirnya, kami mendengar dentuman adzan yang mengantarkan impuls kami untuk segera buka puasa. Makanan sudah tersedia di tiap-tiap meja, untuk minuman kami bisa mengambilnya sendiri, di meja paling depan. Kali ini, aku dan teman-temanku hanya sebatas minum, setelah itu kami beranjak untuk sholat magrib berjama’ah yang di-imamkan oleh guru agama kami. Setelah selesai sholat, kami pun kembali ke kelas untuk makan.
            Sewaktu acara makan-makan, tiba-tiba Serlo mengebohkan satu kelas dengan luluconnya. Biasa memang, karena dia tipe orang yang humoris. Tanpa aku sadari, Serlo semakin mendekat ke arahku, yang biasanya berjarak 2 meter, barangkali kini hanya beradius 80 cm, dimana aku duduk di atas kursiku,sedangkan Serlo dibawahnya. Ia pun sempat bercakap-cakap dengan Lola. “La, aku duduk disini ya.” “Iya Ser, duduk aja. Lagian lebih enak duduk di lantai, ketimbang di kursi,” dengan cuek Lola menjawab seperti itu. “Setuju!” Kata Serlo. Aku yang berada di atas mereka hanya bisa melihat sembari senyum-senyum kecil, karena aku merasa, rasanya buka puasa bersama kali ini akan berbanding terbalik dengan tahun lalu. Alangkah indahnya jika memang benar-benar bisa mengikat tali pertemanan kembali dengannya.
            Semakin lama, ruangan ini semakin sepi, hanya tersisa beberapa siswi yang ditemani wali kelas. Tapi sebaiknya aku ikutan pamit dari ruangan ini, karena ayahku sudah menjemputku. Di perjalanan keluar sekolah, aku dan temanku Mifa sempat berbincang-bincang. “Fa, mudah-mudahan dengan adanya pesantren kilat kali ini, Serlo sadar ya, bahwa musuhan itu nggak bagus buat kita.” “Amin deh. Oh iya, coba aja kamu minta maaf lagi padanya, siapa tahu aja dia mau memaafkan kamu.” “Mungkin nggak sih? Tapi aku kurang yakin, dia mau memaafkanku.” “Coba saja dulu,” perintahnya.
            Aku sudah berulang kali minta maaf kepada Serlo atau setidaknya berusaha memulai obrolan dengannya, sampai yang terakhir kali aku minta maaf padanya, dan hanya menghasilkan buah tangan, rasa sesak di kalbu. Seperti ini aku memulainya, dengan detak jantung yang tak beraturan, aku minta maaf. “Ser, aku minta maaf, selama ini mungkin aku yang salah, maafin aku ya.” “Apaan sih, awas deh! Ada orang mau jalan nih.” Sumpah itu menyakitkan hatiku, sampai rasanya darahku ingin berhenti mengalir.
            Tak lama kemudian, aku berhasil melupakan kejadian yang cukup menjengkelkan tadi. Tapi ada perkara yang membuatku semakin keji. Temanku Kradina,memanggilku dan memulai pembicaraan. “Ni, kamu tahu nggak, masa tadi kata Serlo, kamu minta maaf sama dia, kaya orang minta maaf pake teks.” “Hello, dia nggak lihat apa, jelas-jelas aku udah minta maaf sama dia dengan sungguh-sungguh, malah dibuat permainan, mau anak itu apasih sebenarnya? Bikin orang nyesek aja, egois banget!” Seruku dengan nafsu berlebihan. Kemudian temanku satu lagi, sebut saja namanya Mrytle,dia dengan lantangnya berkoar, “Nyesek adalah saat teman kalian minta maaf,tapi dikira pake teks.” Jleb. Sontak membuatku sangat tertegun.
            Hal-hal seperti itu yang membuatku berpikir untuk mengurungkan niatku meminta maaf kepada Serlo. Tapi, di sisi lain, aku ingin sekali berteman lagi dengannya, layaknya saat pertama kita memulai sebuah perkenalan dari jejaring sosial yang kelak itu sedang di gandrungi oleh kaum-kaum remaja sebayaku.
            Malam tak terasa semakin lama-semakin dingin, atau mungkin sejuk. Sekarang, aku sedang merenung di muka jendela kamarku. Kira-kira pukul 09.00 malam. Aku bingung kenapa mata-ku tak jua mau membungkam. Kucoba untuk merebahkan sebagian nyawaku ke tempat tidurku. Tak lama sebagian nyawaku kembali ke asalnya, aku bukannya tidur, tapi malah memikirkan, bagaimana jalan terbaik untuk minta maaf sama Serlo. Mungkin lewat pesan singkat. Tapi aku tak menyimpan nomor handphone-nya di kontak teleponku. Ini benar-benar rumit. Serumit kisah pertemananku dengan Serlo, hingga menghasilkan suatu non-fiksi yang memikat.
            Waktu itu, kira-kira di penghujung tahun lalu, sekolahku mengadakan pensi, dimana aku sebagai pengisi acara, ditugaskan untuk mementaskan sebuah tarian tradisional yang dikenal banyak orang. Aku berkostum, bertata-rias layaknya penari profesional. Segala urusan telah tersiapkan, waktunya aku berangkat ke sekolah. Tiba disekolah, aku disambut Serlo,disana tugasnya memang memeriksa pengunjung yang mau masuk ke acara pensi. Tak ada kata-kata, ia pun hanya membongkar tasku. Ada yang aneh darinya. Seharusnya, saat itu aku dan Serlo sudah berteman layaknya orang biasa. Karena kira-kira di pertengahan September, Serlo sudah menegurku dan seringkali mengajakku bercanda. Tapi mengapa dia berbeda? Aku betul-betul tak habis pikir.
Selama acara pentas seni berlangsung, aku dan Serlo betul-betul tak berkomunikasi, mungkin memang karena jarak kami waktu itu tenggang, dan kami punya kesibukan masing-masing. Tapi ada kalanya, kami berpapasan, bertemu, walau hanya sepintas. Sejak saat itu, dimulailah kembali kisah buruk hubungan kami tiba. Aku selalu berusaha untuk baik hati kepadanya, setidaknya memulai obolan dengan menegur dia, tapi tidak ada respon positif darinya. Seorang Rahdini pun bisa mual dengan semua ini.
Kembali aku memikirkan, bagaimana caranya untuk meminta maaf kepada Serlo. Aku pun mengingat-ingat kembali nomor handphone-nya yang memang sedikit terlintas di otakku. Berusaha memulai sms ke nomor yang aku coba terka itu. Rahdini mnta maaf, kalau slama ni Rhdini pnya slh sm kamu. Dengan berharap aku tidak salah kirim, aku lantas memencet tombol Kirim di hanphone-ku. Betapa senangnya hatiku, sms itu pun terkirim. Dan kemudian balasan sms itu datang kepadaku. Kmu mau ngrim sms ni ke sapa? Yg jelas, kalau bkn buat aku, gk prlu aku rspon kn. Dia mengecewakanku, padahal aku sudah senang dia mau membalas sms-ku, tapi ada benarnya. Mungkin saja itu bukan nomor hp-nya Serlo. Lalu, aku mengirim sms sebagai berikut. Bner kan, ni nmrnya Serlo ank SMP Murid Teladan? Kalau iya, aku bnr2 mnta maaf. Aku betul-betul gugup menantikan balasan darinya, sampai rasanya aku tak mau lagi melihat layar hp-ku. Kemudian getaran dari hp-ku mulai terasa, yang menandakan Serlo membalas sms-ku, dengan nafas penuh sesak, dan degup jantung hampir tersendat-sendat, aku membaca balasan sms-nya. Oh sms ini buatku, iya aku Serlo, iyadeh aku maafin km, lgian aku jg gk mau nmbh2in musuh. Kaget, senang itulah yang aku rasakan.
Malam betul-betul tak pandang bulu, siapapun bisa mendapat keajaiban pada malam, dan siapapun bisa mendapat kenistaan dari malam. Sejak kala itu, hidupku mulai normal kembali, berkat Sang Malam.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar